![]() |
Shanty, penyanyi Indonesia bersuami pria asal Ekuador, Sebastian Pardede |
Banyak perempuan di sekitar kita yang menikah dengan pria asing, khususnya Amerika. Hal ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia.
Pria Amerika ternyata juga banyak yang ingin menikah dengan perempuan-perempuan dari berbagai negara lain di Asia.
Inilah yellow fever, fenomena di mana pria
kulit putih tertarik dan kadang-kadang terobsesi dengan perempuan Asia.
Menurut Debbie Lum, generasi keempat keturunan China-Amerika dari St
Louis, Missouri, ada sebab mengapa banyak pria menganggap perempuan Asia sebagai istri yang ideal.
Disebut-sebut,
karena perempuan Asia lebih penurut dan patuh. Selain itu, mereka punya
impian untuk hidup lebih makmur di negara-negara Barat.
Menikah dengan pria
Amerika menjadi cara mereka untuk memperoleh green card. Stereotip ini
memang menyinggung perasaan komunitas Asia-Amerika karena seringkali
tidak benar, demikian pendapat Lum.
Menurut Goal Auzeen Saedi,
lulusan program doktoral dalam konseling dari Stanford University,
persepsi yang dominan mengenai perempuan Asia adalah bahwa mereka adalah
tipe submissive.
Penurut, tapi juga mampu mendominasi. Dalam artikelnya di Psychology Today tahun 2011, Dr Saedi menjelaskan bahwa pria
kaukasia yang mendambakan perempuan Asia sebenarnya mengirimkan pesan
mendasar bahwa mereka lebih berkuasa, dominan, punya keleluasaan sebagai
kulit putih.
Psikologi di balik yellow fever inilah yang coba
digambarkan oleh Debbie Lum dalam film dokumenternya, Seeking Asian
Female. Dalam filmnya Lum mengikuti kehidupan Steven, pria
Amerika berusia 60 tahun, dalam pencariannya akan pengantin Asia; dan
Sandy, perempuan China berusia 30 tahun yang ditemui Steven di internet
dan akhirnya menikah.
Menurut situs untuk film dokumenter
tersebut, Steven pertama kali tertarik dengan perempuan Asia setelah
menyaksikan kesuksesan pernikahan putranya dengan seorang imigran asal
Jepang.
Steven, yang bekerja sebagai petugas di bandara San
Francisco, selama bertahun-tahun memburu lewat katalog-katalog dan
situs-situs kencan untuk mencoba menemukan pasangannya.
"Selama
lima tahun terakhir pasti sudah ada ratusan gadis yang berbeda-beda dari
China yang saya kirimi surat," jelasnya dalam trailer film tersebut.
Sampai
akhirnya ia bertemu Sandy, buruh pabrik yang tumbuh di kebun teh di
sebuah pegunungan China. Steven pun terbang ke China untuk menjumpai
gadis itu. Steven tidak kembali dengan tangan kosong. Dua minggu
kemudian, ia kembali ke California bersama Sandy, setelah gadis itu
setuju untuk menikah dengannya.
"Aku bahagia sekali," ujar Steven sambil menyeringai seperti remaja laki-laki yang sedang jatuh cinta.
Hanya
saja, begitu mereka hidup bersama dan memenuhi impian dan fantasinya
masing-masing, barulah keduanya sadar bahwa mereka sulit berkomunikasi.
Bahasa Inggris Sandy standar sekali, sementara Steven tidak tahu sepatah
pun kata bahasa China (entah bagaimana mereka berkomunikasi dalam
surat-suratnya).
Trailer film itu menunjukkan bagaimana mereka
kerap bertengkar karena tak satu pun memahami apa yang dikatakan yang
lain. "Apa?" teriak Steven pada istrinya. "Bicaralah dalam bahasa
Inggris!"
Debbie Lum lah yang bertindak sebagai mediator sekaligus
penerjemah bagi pasangan ini. Pada Lum, Steven kerap berkeluh kesah dan
meminta bantuan untuk memecahkan masalahnya. "Aku tidak tahu dia
(Sandy) ngomong apa," katanya pada Lum.
Namun, pernikahan mereka
masih berjalan setelah empat tahun, karena Steven menyadari bahwa ia
bisa mencintai Sandy meskipun karakternya yang berapi-api. Dalam film
terlihat juga bahwa Sandy tidak takut untuk menegaskan pendapat atau
pandangannya.
Bahkan, dengan nada bercanda ia mengancam akan memotong jari tangan Steven bila pria
itu berbohong padanya. Inilah satu bukti yang bertentangan dengan
gambaran stereotip perempuan Asia yang kerap disebut penurut tadi.
"Obsesi
Steven dengan perempuan Asia mana pun telah digantikan dengan Sandy
yang nyata," jelas Lum, yang mengaku bahwa persepsinya sendiri mengenai
Steven mungkin sama buruknya dengan persepsi Steven mengenai perempuan
Asia.
Lum berharap filmnya bisa menjadi bahan diskusi mengenai
kategorisasi negatif secara umum, termasuk tentang pria-pria kaukasia
seperti Steven. Film ini berkisah tentang harapan-harapan dan
stereotip-stereotip, yang sebenarnya sangat berkaitan. Yaitu stereotip
mengenai pria-pria kulit putih, dan harapan-harapan mengenai sebuah
hubungan.
sumber : tribun